Bila Adzan Memanggil

“Assholatuimadduddin…. Sholat itu tiang agama. Jadi, jika kita tidak mendirikan sholat, itu sama dengan merubuhkan agama kita, karena tiang-tiangnya kita hancurkan”.

Kalimat dahsyat ini sayup-sayup terdengar dari sang guru di kelas TK B. Saat itu mereka sedang belajar sholat, terlihat dari kerasnya bacaan sholat yang mereka ucapkan.

Entah dipahami atau tidak oleh anak-anak itu, tapi yang jelas saat saya mengajar Kelas 1 SD tahun lalu, berarti empat tahun setelah mereka mendengar kalimat itu, anak-anak sudah tak pernah lagi terdengar melontarkan pertanyaan : kenapa kita harus sholat ? atau sholat itu untuk siapa ?

Dan, tumbuh sesuai dengan jenjangnya, pemahaman mereka pun bertambah. Dari sekedar sholat karena disuruh, tanpa mengenal maknanya. Hingga mereka dengan langkah otomatis berangkat ke Masjid tanpa disuruh-suruh, sekedar untuk melakukan sholat sunnah dhuha. Dari yang cuma tahu, jika sholat itu ada gerakan duduk dan berdirinya hingga menguasai persoalan fiqh sholat.

Tapi, bagi Sekolah alam, mendirikan sholat itu bukan semata-mata mengerjakan sholat, akan tetapi juga sholat dengan berjamaah dan di awal waktu. Ini terkait dengan spirit Sekolah yang hendak membangun karakter dai (penyeru) sejak dini pada anak-anak. Terlebih, dua hal inilah yang lebih dicintai Allah dan Rasulnya.

Perjuangan ke arah ini bukannya tanpa kendala. Meski kultur atau atmosfernya telah didesain sedemikian rupa, namun terkadang masih ada pula anak-anak yang berlambat-lambat menghampiri masjid jika adzan telah berkumandang. Dan ironisnya, pelakunya adalah anak-anak kelas besar yang notabene pengetahuan kognisinya soal sholat lebih banyak daripada adik-adiknya di kelas kecil.

Dalam hal ini, memang ada metode lain yang lebih ketat, semisal memberi sanksi berupa point atau hukuman bagi anak-anak yang menyengaja meninggalkan sholat berjamaah. Namun, kekhawatiran yang lebih prinsipil membuat Sekolah memilih tak mengunakan cara ini, yaitu kepatuhan semu. Artinya, niat atau semangat anak-anak melakukannya bukan karena murni karena Allah semata, tetapi karena takut menghadapi hukuman ataupun sebaliknya untuk mendapatkan imbalan/hadiah.

Sehingga, karena tak dibangun di atas kesadaran alami, kepatuhan mereka sebatas jika ada sanksi atau orang yang ditakuti. Jika dua hal ini ’hilang’ (semisal di rumah yang pengawasannya longgar), maka anak-anak akan kembali tak terkendali.

Kedua, karena Sekolah Alam ingin agar masjid menjadi tempat favorit anak-anak bukan sebaliknya menajdi tempat paling menyeramkan buat mereka. JIka kita para orang tua ‘galak’ dan ‘sadis’ sama mereka, termasuk dengan melakukan aksi kekerasan seperti bentak, jewer, cubit, dan sebagainya itu, semata agar anak-anak tak gaduh… efeknya adalah anak-anak kemudian mempunyai trauma buruk terhadap masjid.

Kebalikannya juga, jika terlalu lunak…anak-anak malah terlambat memahami adab-adab di masjid. Bahwa ada ketenangan dan kekhusyuan yang hendak ditegakkan di madsjid. Seperti halnya sholat tarawih di ramadhan ini. Saat para ortu mau berlapang dada, terhadap keriuhan anak-anak, maka masjid pun akan penuh dengan kehadiran mereka. Jadi..sabar ajah deh…^_^

Mudah-mudahan setelah ini, masjid tetap penuh dengan anak-anak dan juga orang muda, sebab jikalau yang mengisinya cuma orang tua atau yang sudah terlalu tua…wah, alamat…^_^

Foto di atas adalah saat anak-anak kelas 1 sholat dhuhur berjamaah saat outing ke Masjid Agung Jateng beberapa waktu lalu.

Blog di WordPress.com.

Atas ↑