Meranggas…


Kering… Tandus…
Rumput menguning, mengering, lalu mati.
Mungkin hingga berjengkal-jengkal ke dalam tanah, tak tersisa sedikit air bagi akar untuk sekedar membasahi ‘kerongkongan’nya.
Malangnya generasi hari ini, terlahir di musim kemarau, tak mampu bertahan ia hingga musim penghujan tiba.
Kematiannya begitu sempurna. Ditaburi abu hitam bekas terbakarnya dirinya bersama kerabat sesama rumput di sekitarnya.
Semut-semut, laba-laba, dan serangga kecil yang biasa bermain disana, malah lebih dulu menghilang, entah kemana.
Mungkin mati, mungkin pula berpindah.

Tak ada yang bisa bertahan dalam kemarau bermusim-musim. Apalagi bagi keluarga rumput yang akarnya cuma seperti serabut.
Mereka cuma berharap, ada keajaiban dari langit. Menjatuhkan hujannya barang sekejap.
Sehingga abu hitam itu bisa basah, bersatu dengan tanah, dan melahirkan generasi baru.
Generasi beruntung yang terlahir pada musim hujan.

Hari ini, yang nampak masih bisa bertahan, cuma sebatang pohon.
Entah pohon apa namanya. Karena sudah tak ada dedaunan lagi di rantingnya. Sudah sulit dikenali.
Itu pohon muda. Diameternya baru selingkaran dua telapak tangan.
Ia berhasil bertahan di kemarau tahun kemarin. Dan ia berharap akan berhasil pula di kemarau tahun ini.
Tapi, tidak pula mudah baginya.
Di atas tanah, dahannya baru memanjang ke samping satu meter dari batang utamanya.
Itu berarti, baru satu meter pula panjang rambatan akarnya di dalam tanah.
Jadi, dia masih belum bisa mencengkeram air sekuat dan semasif pohon besar nan tua yang tumbuh di bukit sebelahnya.

Satu keputusan berat dibuatnya. Meruntuhkan seluruh daunnya. Ia, meranggas.
Hari ini, ia mematahkan satu teori biologi-kimiawi, bahwa tumbuhan memasak makanannya di daun.
Klorofil dan kloroplas yang ada didalam daun, menghasilkan energi untuknya dengan pembakaran sinar UV dari matahari.
Tapi kini, jika satu lembar daun pun tak ada, itu berarti ia berhenti memasak.
Dengan kata lain, ia menahan diri tak makan alias berpuasa.
Di musim kering dan sulit ini, ia memilih berpuasa.
Sebab, dalam kacamata lain, rupanya, untuk mempertahankan agar dedaunan tetap segar menghijau juga mengeluarkan energi yang cukup besar.
Demi kehidupan di masa mendatang, energi dan air tersisa kini ‘terpaksa’ disimpan hanya dalam akar dan kambiumnya.

Maka, berguguranlah daunnya.
Seraya ia mengucap maaf bagi sekelilingnya.
Karena dengan tampilannya yang ‘gundul’ itu, ia terlihat tak lagi sedap dipandang. Bahkan, malah bikin kasihan.

***

Dalam keseharian, kita juga tak luput dari ‘terik’nya musim kemarau.
Itu adalah saat ‘paceklik’ melanda, saat kesulitan datang bertubi-tubi silih berganti.
Ujian yang satu belum lagi usai, datang lagi ujian lain, yang mungkin lebih berat dari ujian sebelumnya.
Mungkin, ia bisa berupa : berpisah dengan sahabat atau orang yang dicintai, baik untuk selamanya maupun sementara.
Atau kehilangan ‘sesuatu’ berharga yang selama ini menjadi sumberdaya; harta, jabatan, amanah, kekuasaan, kepercayaan,
juga cinta, senyuman, persahabatan, kehangatan, kekeluargaan, dan lain-lain.
Atau mendapatkan ‘energi kekeringan’ lain : terkena amarah, terlecehkan, terhukum, terabaikan, terkucilkan, dan yang serupa dengan itu.

Maka, untuk bisa ‘survive’, kita perlu pula ‘meranggas’, dengan cara kita.
Dan, Rasulullah SAW rupanya telah memahami hal ini jauh-jauh hari sebelumnya.
Beliau menganjurkan kita ‘meranggas’, dengan menggugurkan ‘daun kesombongan’ kita.
Barang siapa yang bisa ‘meranggas’ maka ia kan mendapatkan predikat manusia mulia.
Ya, sebab ternyata, ‘meranggas’ ala Rasulullah adalah perbuatan yang amat berat, karena itu ia berhak mendapat predikat mulia.

Jika kita balas marah atas orang yang marah,
atau balas menyakiti setelah tersakiti, itu bukanlah ‘meranggas’ atau mengugurkan kesombongan.

‘Meranggas’ kata Rasulullah (dalam HR. Al-Hakim) adalah berikut ini :
pertama, suka menghubungkan tali silahturrahim kepada orang yang telah memutuskannya;
kedua, memberikan sesuatu (hadiah) kepada orang yang tak pernah memberi kalian sesuatu;
ketiga, bersabar (tak lekas marah) kepada orang yang menganggapmu bodoh (sepele).

Sepintas lalu, dimata orang, mungkin ia terlihat tak berdaya dan begitu mengiba, seperti halnya pohon yang gundul tanpa daun.
Namun, terbukti, bahwa pohon yang meranggas-lah yang mampu bertahan hidup hingga musim berikutnya. Mungkin pula hingga berbuah.
Walaupun, sebenarnya, bisa saja ia tetap mempertahankan ‘daun’nya, agar terlihat gagah, dengan : menjawab permusuhan dengan permusuhan,
pelit berbalas pelit, dan murka agar orang memperlakukannya istimewa.
Namun, sejatinya, energi yang dubutuhkan untuk itu sangatlah besarnya.
Demi mempertahankan ‘daun kesombongan’ yang tercipta malah kekeringkerontangan, didalam jiwa.

Gugurkan saja ‘daun-daun’ itu. Meranggaslah.
Dijamin, setelah itu, maka manusia mulia ini, hatinya akan kaya. Ketenangan akan tercipta.
Kekayaan hati ini, jika berada ditengah-tengah kerumunan hati kerdil, maka sungguh ia bernilai langka.
Ia menjadi mulia di mata Allah, dan dimata orang-orang yang mampu melihatnya sebagai kemuliaan.

Subhanallah…,
begitu indah ayat kauniyah Allah terhampar di depan mata.

(by : dr. — photo taken at Sigar Bencah Hill, a couple days ago)

7 respons untuk ‘Meranggas…

Add yours

  1. Subhanallah……..
    itulah salah satu bukti keadilan Allah Swt. Walaupun “hanya” sebatang pohon, dia mampu untuk tetap bertahan dimusim yang sulit air, musim kemarau. pohon menggugurkan daunnya untuk mengurangi proses evaporasi (penguapan) sehingga bisa menghemat persediaan air yang dikandung batang dan rantingnya agar tetap bisa melewati satu musim “paceklik” dan dapat bertemu dengan musim yang lainnya, musim penghujan yang banyak air. Namun kadang-kadang campur tangan manusia menambah berat “puasanya”. karena dengan membakar sekitanya berarti menambah pula proses penguapan air di sekitarnya, yang berarti ikut menghilangkan persediaan makanan sang pohon.
    Sementara itu, disaat sang pohon mendapatkan bahan makanan yang berlimpah, dia selalu menumbuhkan dedaunannya dan berbagi kerindangan serta kesejukan dengan mengedarkan oksigen (yang merupakan kebutuhan pokok makhluk lainnya) di sekitarnya. Tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh makhluk ciptaan Nya.
    Namun kadang-kadang, manusia tergoda untuk memotong batang dan rantingnya, karena diangap mengganggu pandangan mata.

    Memang nasib sang pohon tidak selalu seindah nasib manusia, yang mempunyai nafsu untuk menggusurnya, terlebih pepohonan yang berada disekitar lingkungan pemukiman.

    Akankah kita selalu mencampuri urusan sang pohon, dan membiarkan dia melewati masa sulitnya, untuk bisa berbagi kepada seluruh makhluk ciptaan Nya?
    Mampukan kita meniru perilaku sang pohon di dalam kehidupan kita sehari-hari?
    Berhemat dimasa sulit dan berbagi manakala mendapatkan rejeki yang melimpah….

    Wassalamu’alaikum

    fait à La Rochele, le 25 juillet 2008

  2. Reflektif, kontemplatif. Maturnuwun…. Semoga yang “punya” blog ini juga punya kearifan “meranggas”: mengugurkan “daun-daun” demi musim dan generasi masa depan.

  3. –>ummi farin…, thx bu..sama-sama saling ‘menyirami’ ya bu..

    –> pak sulchan…, subhanllah tambahan kontemplasinya. makin menjadi kaya renungannya.

    –> pak budi….oww..jeru pak..hehe…iya pak…sama2 mencoba nih…ayo..’meranggas’ bareng-bareng…!

  4. Subhanalloh, tulisan yg sangat inspiratif, dan sangat mewakili kondisi sy sekarang…
    Makasih atas sharing nya…
    Semoga Alloh memberikan kekuatan pada kita dalam setiap kondisi apapun…

  5. Ketika membaca tulisan ini saya sedang galau. Mengembara diantara ruang maya, mencari sesuatu untuk melepas dahaga, sekerontang kering pohon meranggas hati saya. Lalu Tuhan tuntun saya pada untaian kata yang membuat mengalir air mata ini, saya memang terluka, tercabik harga diri karena orang tercinta, tapi rupanya bukan amarah jawabannya, tapi meranggaslah. Gugurkanlah daun-daun kesombongan mu. Agar aku bisa menjadi manusia yang lebih baik. Terimakasih.

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑